
Paus Fransiskus, yang merayakan ulang tahunnya ke-88 tanggal 17 Desember yang lalu, telah menjadi salah satu paus tertua yang menjabat dalam 2.000 tahun sejarah Gereja Katolik.
Setelah menetapkan Hari Kakek-Nenek dan Lansia Sedunia pada tahun 2019, Bapa Suci tetap setia pada pesan pengukuhannya yang ditujukan kepada umat Katolik yang berusia lanjut: “Tidak ada usia pensiun dari pekerjaan mewartakan Injil.”
Minggu lalu, 15 Desember, ia menyelesaikan perjalanan apostoliknya yang ke-47 ke wilayah Corsica di Prancis untuk menghabiskan satu hari penuh bersama umat Katolik dan mengambil bagian dalam tradisi budaya dan kesalehan mereka.
Setelah dibukanya Tahun Yubelium Harapan pada Malam Natal, 24 Desember, Paus tidak menghentikan sementara jadwal kerjanya.
Pada bulan Desember saja, Paus Fransiskus telah bertemu dengan para pemimpin negara, prefek departemen, dan bahkan delegasi yang lebih kecil dari komunitas Katolik yang datang mengunjunginya di Vatikan.
Menurut Patriark Latin Yerusalem Kardinal Pierbattista Pizzaballa, OFM, Paus berupaya menelepon Gereja Keluarga Kudus di Gaza setiap malam dan telah menjadi “kakek bagi anak-anak” paroki yang dengan penuh semangat menunggu panggilannya pukul 7 malam.
Paus merayakan ulang tahunnya dengan merilis kutipan buku
Untuk menandai ulang tahunnya yang ke-88, Paus Fransiskus telah merilis beberapa kutipan dari otobiografinya 'Harapan', yang menceritakan masa kecilnya di daerah kumuh Buenos Aires dan kesulitan logistik kunjungannya tahun 2021 ke Irak.
Ditulis bersama Carlo Musso dan diterbitkan oleh firma Italia Mondadori, buku ini akan dirilis pada tanggal 14 Januari di lebih dari 100 negara.
Dua surat kabar Italia 'La Repubblica' dan 'Il Corriere della Sera' menerbitkan beberapa kutipan hari ini.
"Ketika seseorang mengatakan bahwa saya adalah seorang Paus villero (penghuni daerah kumuh), saya berdoa agar saya layak menerimanya," kata Paus Fransiskus, saat mengenang "mikrokosmos yang kompleks, multietnis, multiagama, dan multikultural" dari barrio Flores di Buenos Aires, tempat ia menghabiskan masa kecilnya.
"Perbedaan adalah hal yang wajar, dan kami saling menghormati," katanya, seraya menunjuk pada hubungannya dengan teman-teman Katolik, Yahudi, dan Muslim.
Paus Fransiskus menceritakan pengalaman masa kecilnya melihat pelacur di jalanan Buenos Aires, dan menyebutnya sebagai gambaran "sisi kehidupan yang paling gelap dan paling sulit."
Sebagai uskup, ia merayakan Misa untuk sejumlah wanita yang telah mengubah hidup mereka.
Ia mengenang seorang wanita bernama Porota yang mengatakan kepadanya: "Saya pernah bekerja sebagai pelacur di mana-mana, bahkan di Amerika Serikat. Saya mendapatkan uang, lalu jatuh cinta pada seorang pria tua yang menjadi kekasih saya. Ketika ia meninggal, saya mengubah hidup saya. Sekarang saya memiliki uang pensiun, dan saya memandikan orang-orang tua di panti jompo yang tidak memiliki siapa pun untuk merawat mereka. Saya tidak sering pergi ke Misa, dan saya melakukan segalanya dengan tubuh saya, tetapi sekarang saya ingin merawat tubuh-tubuh yang tidak diminati orang lain."
Paus Fransiskus menyebutnya sebagai "Magdalena masa kini." Porota memanggilnya untuk terakhir kalinya, dari rumah sakit, tepat sebelum meninggal, untuk menerima Pengurapan Orang Sakit dan Komuni.
"Ia meninggal dengan baik - seperti 'para pemungut cukai dan pelacur' yang 'mendahului kita dalam Kerajaan Allah' (Matius 21:31). Saya sangat mencintainya. Bahkan sekarang, saya tidak pernah lupa untuk berdoa untuknya pada hari kematiannya," tulisnya.
Paus mengenang para tahanan yang membuat sikat pakaian, dan menceritakan persahabatannya dengan Pastor José de Paola, yang dikenal sebagai "Pastor Pepe", pastor di Virgen de Caacupé di Villa 21. Paus, saat itu Jorge Mario Bergoglio, mendukung Pastor Pepe melalui krisis panggilan hidupnya.
Berbicara tentang daerah-daerah ambang di mana "Negara tidak hadir selama 40 tahun" dan kecanduan narkoba merupakan "ancaman yang melipatgandakan keputusasaan," Paus menegaskan bahwa "di daerah-daerah pinggiran ini, yang harus semakin dijadikan pusat oleh Gereja, sekelompok umat awam dan imam seperti Pastor Pepe hidup dan menjadi saksi Injil setiap hari, di antara mereka yang terbuang oleh ekonomi yang mematikan."
Dari kenyataan pahit ini muncul kebenaran bahwa agama, seperti yang diklaim sebagian orang, "bukanlah candu bagi masyarakat, bukan cerita menghibur untuk mengasingkan individu," tegas Paus.
Sebaliknya, katanya, "Berkat iman dan komitmen pastoral dan sipil itulah" vila-vila "telah maju dengan cara-cara yang tak terbayangkan, meskipun menghadapi kesulitan-kesulitan yang sangat besar." Sama seperti iman, "setiap pelayanan adalah sebuah perjumpaan, dan kita khususnya dapat belajar banyak dari orang-orang miskin."
Dari drama pinggiran kota hingga kehancuran Irak, pandangan Paus Fransiskus tetap tertuju pada kemanusiaan yang terluka.
Merenungkan Perjalanan Apostoliknya yang bersejarah ke Irak, pada tanggal 5-8 Maret 2021, Paus Fransiskus menggambarkan "anak panah ke hati" yang diwakili oleh Mosul.
"Salah satu kota tertua di dunia," katanya, "yang penuh dengan sejarah dan tradisi, yang telah menyaksikan berbagai peradaban datang dan pergi dan merupakan simbol hidup berdampingan secara damai dari berbagai budaya di satu negara - Arab, Kurdi, Armenia, Turki, Kristen, Suriah - tampak di mata saya sebagai puing-puing setelah tiga tahun pendudukan oleh ISIS, yang telah memilihnya sebagai bentengnya."
Dilihat dari helikopter, dia mengatakan wilayah itu tampak seperti "sinar-X kebencian, salah satu sentimen paling efektif di zaman kita."
Paus mengingat konteks kunjungan yang sulit, diperburuk oleh pandemi COVID-19 dan masalah keamanan.
"Saya dinasihati untuk tidak pergi ke sana oleh hampir semua orang... tetapi saya merasa saya harus melakukannya," tulisnya, mengacu pada tanah Abraham, "nenek moyang bersama orang Yahudi, Kristen, dan Muslim."
Dia menyebutkan peringatan dari intelijen Inggris tentang dua upaya pembunuhan yang telah direncanakan selama kunjungannya ke Mosul: satu oleh seorang wanita yang diikat dengan bahan peledak, yang lainnya melibatkan truk.
Kedua penyerang dicegat dan dibunuh oleh polisi Irak. "Ini sangat menyentuh saya," tegas Paus Fransiskus. "Itu juga buah perang yang beracun."
Namun, di tengah semua kebencian ini, Paus menemukan secercah harapan dalam pertemuannya pada tanggal 6 Maret dengan Ayatollah Besar Ali al-Sistani di Najaf, sebuah pertemuan yang "telah dipersiapkan oleh Takhta Suci selama beberapa dekade."
Diselenggarakan dengan semangat persaudaraan di rumah al-Sistani, itu adalah "suatu isyarat yang fasih di Timur, bahkan lebih dari sekadar deklarasi atau dokumen, karena itu menandakan persahabatan dan rasa memiliki dalam keluarga yang sama," jelas Paus. "Itu menyejukkan jiwa saya dan membuat saya merasa terhormat."
Ia mengenang seruan bersama Ayatollah kepada negara-negara adidaya "untuk meninggalkan bahasa perang, mengutamakan akal sehat dan kebijaksanaan." Paus menyampaikan apresiasinya atas sebuah frasa dari pertemuan mereka: "Manusia adalah saudara dalam agama atau sederajat dalam penciptaan."
Selain 'Hope' kehidupan Paus Fransiskus juga akan diceritakan dalam sebuah film berdasarkan Life: My Story in History, sebuah otobiografi yang ditulis bersama Fabio Marchese Ragona dan diterbitkan pada bulan Maret oleh HarperCollins.
Sumber:
Pope celebrates birthday with release of book extracts | ICN