Benih-Benih Kristiani
“Seluruh jemaat, datanglah. Menuju altar Tuhan Allah. Alunkanlah lagu pujian. Kita puji kebesaranNya. Plak kendang dung plak plak plak kendang nyaring ditepak. Yang mengiring misa semua nyanyi riang…”
Lagu gerejawi bergaya betawi yang berjudul Seluruh Jemaat Datanglah itu kerap bergema di sebuah gereja, di pelosok pinggir tenggara Jakarta. Nama gereja tersebut, Gereja Katolik Santo Servatius. Letaknya di Jalan Raya Kampung Sawah RT006/04, No 75, Kelurahan Jati Melati, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi. Lihatlah, dari udara pun sudah terlihat, betapa megah gedung gerejanya. Siapa yang mengira di balik kemegahan gereja tersebut ada begitu panjang kisah pergolakan iman umatnya. Begitu panjang, begitu banyak. Bila setiap penggal cerita diumpamakan sebutir beras yang disimpan di pangkeng, maka kisah umat Kampung Sawah boleh disebut sepangkeng banyaknya... sejak Jakarta bernama Batavia.
Ini kisahnya…
A. Benih Katolik dari Gunung Putri
“Kukuk...kukuk...kukuk...kukuk...” lonceng dari Schwarzwald, Jerman, dengan burung kukuknya mengakhiri suara dentang pelbagai macam lonceng yang ada di rumah besar bercat putih nan megah itu. Rumah besar itu memang penuh oleh lonceng dan jam besar. Sebuah jam duduk dari Prancis penuh ukiran. Jam duduk dari Jerman berbentuk kapal perang. Lonceng besar dari Friesland (Belanda). Lonceng-lonceng ekor dari Drente, Groningen, Overijsel memenuhi seluruh rumah. Rumah besar,dua lantai, megah yang berada di tengah taman yang luas. Rumah ini kerap disebut Gedong Panjang, sementara bagian atasnya disebut Gedong Luhur. Namanya Vila Citrap,3 Gunung Putri. Pemiliknya Augustijn Michiels yang punya banyak panggilan. Ia biasa disebut Kapten Papang, Kolonel Titular, namun ia paling kerap dipanggil Major Jantje.
Major Jantje adalah “de rijkste grondeigenaar van Java” (pemilik tanah terkaya di Jawa). Selain itu, ia memiliki usaha sarang burung walet di Citrap dan Kelapa Nunggal. Major Jantje sekurang-kurangnya memunyai 320 pegawai yang bekerja hanya di lingkungan Wisma Tjitrap. Tak terhitung di perkebunan dan usaha burung waletnya.
“Tuan!” panggil Mbok Sita, pengurus rumahnya. “Tuan Besar Buitenzorg datang!” Tuan Besar Buitenzorg ini adalah sebutan Komisaris Jendral Batavia Leonardus Petrus Josephus Du Bus de Gysignies yang biasa tinggal di Kota Buitenzorg.4
Major Jantje tersenyum. Tuan Besar Buitenzorg sahabatnya memang kerap datang mendadak. Namun suara kedatangan ningrat asal Vlaanderen, Belgia, itu memang mudah diketahui. Ia biasa naik kereta kuda. Saat kereta kuda datang, seorang peniup terompet membunyikan terompetnya. Di belakangnya berbaris pasukan kavaleri.
“Tabik, Meneer Michiel!” sapa Tuan Besar Buitenzorg dengan bahasa tubuh yang santun.
“Suatu kehormatan tak kami sangka-sangka. Selamat datang, Tuan Komisaris Jendral,” balas Major Jantje.
Persahabatan mereka telah berlangsung lama, meski keduanya memiliki karakter yang jauh berbeda. Major Jantje adalah penggemar pesta, sementara sang Komisaris Jendral, wakil Raja Willem 1 (Raja Belanda) di Hindia Belanda, adalah pemimpin yang saleh. Selama masa jabatan Tuan Du Bus de Gysignies, 1825-1830, Gereja Katolik di Indonesia mengalami masa-masa yang menyenangkan. Ia misalnya menetapkan peraturan pemerintah pasal 97, “Pelaksanaan semua agama mendapat perlindungan pemerintah. “ Peraturan ini konon tak disukai raja yang beragama Kristen Protestan.
Du Bus juga seorang pimpinan yang banyak berdoa. Meski saat itu ia cukup direpotkan oleh Perang Diponegoro, ia tak pernah absen untuk berdoa di Gang Kenanga, Batavia. Du Bus juga mengenal para pastor yang berkarya di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Bahkan pada bulan November 1827,ia mengajak prefek apostolik yang sebelumnya tinggal di Semarang, untuk tinggal di Batavia. Melihat kebutuhan umat yang mendesak akan adanya gereja untuk tempat ibadah, Tuan Ghisignies mengusahakan tempat untuk mendirikan Gereja baru. Beliau memberi kesempatan kepada Dewan Gereja Katedral untuk membeli persil bekas istana Gubernur Jenderal di pojok barat/utara Waterlooplein5 yang waktu itu dipakai sebagai kantor oleh Departemen Pertahanan. Pada waktu itu, di atas tanah tersebut berdiri bangunan bekas kediaman panglima tentara Jenderal de Kock. Umat Katolik saat itu diberi kesempatan untuk membeli rumah besar tersebut dengan harga 20.000 gulden. Pengurus gereja mendapat pengurangan harga 10.000 gulden dan pinjaman dari pemerintah sebesar 8.000 gulden yang harus dilunasi selama 1 tahun tanpa bunga.
Du Bus kerap menginap di Wisma Tjitrap. Sebuah paviliun yang diberi nama “Berdamai” sengaja dibuat Major Jantje untuk tempat bermalam sahabatnya. Saat menginap itu ia kerap tak mengindahkan protokoler yang disediakan oleh sahabatnya, bahkan ia senang berjalan-jalan di perkebunan milik Major Jantje. Penampilan yang santun dan saleh membuat para pegawai perkebunan di Tjitrap terkesan dengan nilai-nilai Katolik yang ditawarkan Du Bus. Diduga benih-benih Katolik, selain Kristen Protestan, di Citrap, Gunung Putri, telah tumbuh pada masa-masa persahabatan antara Du Bus dengan Major Jantje.
B. Kristen “Ngelmu” Ala Tunggal Wulung
Salah seorang tokoh pemimpin dalam kekristenan Jawa ialah Tunggal Wulung (+ 1803-1885). Ia berasal dari daerah Juwono (dekat Gunung Muria). Pada tahun-tahun itu penduduk Jawa Tengah menjadi resah akibat keadaan ekonomi mereka yang sulit. Banyak orang yang mengungsi ke Jawa Timur.
Kyai Ngabdullah, begitulah namanya pada waktu itu, ikut berpindah dan menjadi seorang pertapa di lereng Gunung Kelud. Rupanya ia dipandang orang sebagai penjelmaan seorang tokoh dari zaman raja Joyoboyo, yaitu seorang jenderal yang bernama Tunggul Wulung. Pada masa ini Tunggul Wulung berkenalan dengan agama Kristen. Setelah kematiannya (1885), jemaat-jemaat yang dipimpin oleh Tunggul Wulung beralih kepada Zending Mennonit. Tetapi di Jawa Tengah bagian Selatan tetap terdapat sekelompok orang-orang Kristen yang meneruskan tradisi Tunggul Wulung. Mereka ini dipimpin oleh salah seorang muridnya, yaitu Sadrach (1840-1924). Dengan caranya yang khas, memikat dan simpatik serta berakar pada konteks kejawaan, beliau mengajak orang-orang Jawa mengenal Yahshua Sang Mesias (Yesus Kristus). Sadrach tidak mencabut orang Jawa dari akar kebudayaannya. Dia tetap menjadikan orang Jawa sebagai orang Jawa namun memiliki prinsip dan gaya hidup sebagai Kristen atau pengikut Mesias (Kristus).
Di Batavia, sejak zaman VOC sudah terdapat suatu jemaat yang berbahasa Melayu. Jemaat ini merupakan bagian jemaat GPI setempat. GPI sudah merasa puas, apabila dapat memelihara warisan VOC itu dengan baik, dan tidak 8 berusaha untuk menyiarkan Injil di tengah-tengah orang yang bukan Kristen. Tetapi sama seperti di Semarang dan Surabaya, begitu pula di Batavia selama abad ke-19, terdapat utusan-utusan Zending dan orang-orang swasta yang giat mengabarkan Injil. Di antara mereka, terdapat pendeta King (1824-1884) yang mendirikan gereja "Rehoboth" di Jatinegara, dan Mr Anthing (1820- 1883), yang menjabat sebagai wakil ketua Mahkamah Agung. Ia menghabiskan seluruh kakayaannya dalam pekabaran Injil. Antara tahun 1851-1873 seorang penginjil dari daratan Tiongkok, yang bernama Gan Kwee, bekerja di kalangan orang-orang Tionghoa di Batavia dan di seluruh Jawa. Jemaat Patekoan dan juga beberapa kelompok orang Kristen di luar Batavia lahir dari usaha tersebut.
C. Jemaat-Jemaat Anthing
Setelah melakukan pelbagai cara penginjilan, Mesteer Anthing berpendapat bahwa Kota Batavia merupakan lapangan kerja yang sempit dan tandus. Ia beranggapan bahwa penginjilan tidak akan berhasil bila dilakukan oleh orang asing dengan metode Eropa. Menurut dia, Injil harus dikabarkan oleh orangorang pribumi dengan cara pribumi. Oleh karena itu ia memelihara hubungan dengan tokoh-tokoh Kristen Jawa-asli seperti Tunggul Wulung, yang begitu menghargai sikap Anthing, sehingga ia mengirim anaknya untuk bersama sejumlah orang lain mendapat pendidikan di rumah Anthing untuk menjadi seorang pewarta Injil. Juga Sadrach selama beberapa waktu menumpang di rumah Anthing.Pekabar-pekabar Injil didikan Anthing itu mendirikan sejumlah jemaat kecil di daerah sekitar Batavia, antara lain Kampung Sawah dan Gunung Putri.
[ Bersambung ... ]